Sunday, December 5, 2010

kisah penyamun

lumayan untuk minggu ini, hasil rampasannya bisa menyumpal peti yang tergeletak begitu saja di bawah stalaktit sebuah gua yang dari jauh mirip lubang mata tengkorak.

diawali ketika embun pagi mulai menetes pada sebuah ranting kering. ketika keluarga burung masih terlelap, sedikit waktu lagi bagi mereka menyiapkan energi untuk kicauan berikutnya. hanya suara desah angin yang sedikit gelisah, dan gemericik aliran sungai yang tak pernah haus, serta dengungan kumbang yang tak bisa tidur; melebur dan mencipta orkestra. pepohonan pun gemulai menari melambai-lambai ke kiri dan kanan menyerap gelombang orkestra yang memancarkan keteduhan di sekitar. seketika sekelebat bayang penyamun menyeruak dari semak belukar, memecah alunan orkestra, menyumbangkan suara ngilu di hati. dengan penuh sadar, penyamun mengambil ancang-ancang; menyedot angin, membendung sungai, serta membidik kumbang,juga tak lupa menebang pepohonan, sehingga seketika keteduhan sirna. dan keteduhan pun terampas!

sejak akhir musim kemarin dimana keteduhan menjadi langka, sejak saat itu pula penyamun berniat untuk merampasnya saja sekalian, seberapa pun yang tersisa. dengan merampas begitu, penyamun merasakan sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya.perasaan asing yang menyusup dalam dada yang melancarkan hela nafas. "ha .. ha.. ha.. biar tahu rasa! biar saja sekarang kekacauan yang berkuasa di semesta sana. ha.. ha.. ha...". dengan tawa lepasnya penyamun menaruh keteduhan, hasil rampasannya itu ke dalam peti di goa tempat tinggalnya.
hingga pada suatu hari, saat mentari enggan hadir mengawali hari, saat gelap pekat masih menyelimuti goa tempat tinggal si penyamun, saat kejapan pertama mengetuk isi kepala, penyamun segera bangkit dan melebarkan senyumnya. "hmm... selanjutnya akan kuperankan suatu rampasan mulia, aku akan merampas iman, pengharapan, dan kasih!

di hari baru saat awan kembali berarak, penyamun menyebarkan pandangannya mencari iman untuk di rampas. sejauh mata memandang di tengah padang rerumputan, berdiri tegap pohon sesawi. daun hijau segarnya melambai seakan menggoda minta diperhatikan. segera saja penyamun mempercepat langkah menuju ke sana. sembari merenggangkan kakinya, penyamun berteduh di bawahnya. tak seberapa lama ia ingat akan cerita ibunya tentang seseorang yang mampu memindahkan gunung hanya dengan berbekal biji sesawi. maka akal bulusnya segera bekerja, ia keluarkan pisau lipat yang ada di kantongnya dan mulai menggelitik batang pohon sesawi hingga semua biji sesawi berjatuhan. tak dihiraukannya batang sesawi yang meronta dalam tawa kegeliannya memohon si penyamun menyudahi gelitikannya itu. terus saja penyamun dengan pisau lipatnya menggelitik, menggelitik, dan menggelitiki sampai semua biji-biji sesawi berguguran. "nah... ada baiknya segera aku kumpulkan biji-biji ini untuk menambah sumpalan di peti ku tersayang."

saat mentari berbenturan dengan rembulan, penyamun menempatkan dirinya pada sebuah pelabuhan. derai angin laut menampar-nampar wajah penyamun, hingga penyamun merasa terbuai dengan tamparan angin itu. di dermaga sana tampak sebuah kapal siap berlabuh. segera saja penyamun menuju dermaga menghampiri kapal tersebut. kapal duluan yang sampai di dermaga, disusul penyamun. biasanya kapal itu hanya menurunkan peti kemas untuk dibongkar muatannya dan disebar bagi para manusia di sekitar. penyamun pun hanya menunggu di situ. cukup lama bintang-bintang bermain mata dengan rembulan hingga rembulan hanya menyisakan sebagian wajahnya menjadi sabit. penyamun hanya menengadah ke atas melihat polah tingkah mereka. sambil teringat petuah ibunya yang mengatakan bahwa pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa. bersamaan dengan kejapan mata, terbesit sedikit keinginan penyamun untuk bergabung bermain bersama bintang dan rembulan di atas sana, tapi segera penyamun menempeleng kesadarannya dan kembali pada perburuan keduanya. merampas iman. ketika kapal berteriak mengajak seluruh penunggang kapal agar siap kembali berlayar, penyamun menajamkan kesadarannya, ia mendekati kapal dan tanpa sepengetahuan siapa-siapa, penyamun mencongkel sauh kapal itu. sebelum sauh itu mendarat di permukaan laut, penyamun segera meloncat dan menangkap sauh itu. meski badannya kurus kering, penyamun sanggup menggendong sauh yang tampak berat dan kuat itu sambil berjalan kaki menuju goa, istananya.

sesampai di istana goa itu, langsung saja penyamun menyumpal petinya dengan iman, makin bertambah sesak saja isi di dalam peti tu, namun masih ada satu rencana rampasan yang belum dilakukan. bagian dari 3 rampasan mulia itu. iman telah terampas, pengharapan pun juga dirampas. untuk selanjutnya kasih yang perlu dirampas. sambil duduk mengamati petinya yang penuh sumpalan, penyamun mengernyit, ia teringat tadi dalam perjalanannya sewaktu melewati pinggir pasar, penyamun mendengar desus orang-orang membicarakan bahwa esok di hari eksekusi ada seorang Manusia yang rela dihukum mati di kayu salib, sebagai bentuk kasihNya pada orang-orang. penyamun bingung dan bertanya dalam benaknya, "kok bisa-bisanya manusia itu rela dihukum mati. padahal ia sama sekali tidak bersalah, bagaimana mungkin ia rela menderita seperti itu demi menanggung kesalahan orang lain. kasih yang macam apa yang dimiliki manusia itu. hmm.. aku ingin merampas kasih itu, aku tak rela Dia yang tergantung di salib sana dengan berlandas kasih itu. aku yakinkan diriku bahwa aku saja yang berada di tengah pada salib itu, ya hanya dengan cara seperti itu aku mampu merampas kasihNya. sekian tahun aku menjalani hari-hariku, aku mendambakan keutuhan dan kesejatian hidup. walau waktuku terhenti dan tak ada lagi, asal aku berhasil merampas kasih, cukup bagiku."

ps. aku terancam, yang duduk di sebelah kiriNya ...

foto: lingkungan goa maria tritis, paliyan, wonosari-jawa tengah, november 2010

No comments: