Monday, March 12, 2012

genta

panas menyentak membuat kering di tenggorokan dan perlahan kering menjalar hingga ubun-ubun... seperti inikah rasanya jahannam itu?

genta menelan ludah... meskipun sudah sepantasnya jahannam menjadi tempat peristirahatan terakhir baginya, genta mencoba untuk mengingkari suratan kehidupannya itu. genta ingat ada suatu tempat yang menjulang tinggi yang dahulu genta seringkali datangi, itu dulu… sampai saat di pertengahan sisa umurnya sekarang ini genta rindu kembali pergi ke tempat bangunan menjulang tinggi itu. dalam sisa begadangnya di malam ini, genta berniat besok sesegera mentari menyapa, genta akan memulai perjalanan menuju bangunan menjulang tinggi itu.

berbekal penasaran dan rindu terdalam, genta memulai langkahnya. perjalanan kesana terlalu jauh untuk dikatakan dekat, dan terlalu dekat jika dikatakan terlalu jauh. semoga saja lelah tak iseng mampir di tengah perjalanan. kokok ayam pun mulai terdengar seraya menyampaikan pesan semangat buat genta. malahan sendu rembulan pun masih sempat membantu genta menerangkan setapak jalan yang mesti dilalui genta. rembulan memang teman yang paling setia dan tak pernah mengeluh. “aku suka rembulan”, karena rembulan bisa menjadi teman setia yang tak pernah bosan mendengarkan isi hati ku, bathin genta. sejenak setelah genta melemparkan senyum pada rembulan, mentari sudah bersiap menggantikan rembulan. genta juga senang dengan mentari, karena mentari tanpa pamrih memancarkan sinar hangatnya dan membantu menghidupi isi semesta.

begitulah genta terus saja mengayunkan langkahnya ke timur menuju bangunan menjulang tinggi.

“hai sinilah dahulu, duduklah barang sejenak di bawah naunganku, temani aku barang sejenak saja", seru pohon nan rindang di persimpangan jalan itu. genta menoleh ke arah seruan itu, karena dirasa perlu menimbun oksigen, maka genta menerima ajakan pohon itu. Sambil melepas topinya dan mnegipas-ipas ke arah wajahnya genta menyapa sang pohon, “hai pohon apa kabarmu hari ini, sudah berapa lama akarmu menancap di tepi jalan ini?” “ah kau, genta..mari kita bicarakan soal isi hatimu, apa gerangan akan kau buat setibanya di bangunan beratap tinggi itu?” “lho darimana kamu tahu aku mau ke bangunan beratap tinggi itu?” “ya aku tahu, angin barat sahabatku yang memberitahuku, jadi bagaimana?”

“hmm... ya, sepertinya aku hanya sekadar ingin mengingkari suratan kehidupanku.. mungkin kau juga tahu bahwa akhir-akhir ini bara api panas terus mengintaiku, seperti hendak langsung menyergapku dan mengurungku disana. aku coba untuk lari dari intaian itu, meskipun mereka punya dasar dan alasan kuat untuk menangkapku, aku tetap saja ingin mengingkari suratan itu. maka dari itu aku ingin ke bangunan beratap tinggi itu, aku ingat dahulu aku pernah datangi bangunan beratap tinggi itu, disana aku merasakan kesejukan dan belaian angin yang menerpaku, adem. mungkin disana aku bisa mendapatkan perlindungan dari ancaman bara api panas itu”.

“hmm.. ya.. baik lah kalau begitu, hanya saja tetaplah jaga kesungguhan hatimu, sekali kau melangkah jangan pernah lagi menengok ke belakang”. “ya, terima kasih telah mengingatkanku.. oya, sepertinya bekal oksigen darimu ini cukup menjadi bekal untukku, sampai kita bertemu kembali”. dan begitulah,kesegaran baru melingkupi genta untuk melanjutkan langkahnya ke tempat bangunan beratap tinggi itu.

sekitar 21 meter dari langkah pertama pohon itu, ayunan langkah genta terhenti karena genta terhadang oleh sosok seperti manusia namun berkepala seperti kuda dan bertanduk satu di dahinya. sesaat keduanya terdiam, sampai pada saat genta berdeham dan mulai angkat bicara, “maaf, jangan halangi jalanku karena aku ingin segera sampai ke tempat tujuanku” sosok itu bergeming tanpa suara dan tanpa gerakan hanya sorotan matanya yang hangat dan teduh nterus membidik genta. merasa risih dengan sorotan mata itu, genta kembali berdeham kembali mengulangi kalimat pertamanya itu. masih tak ada tanggapan. rinai seketika jatuh,genta masih saja tetap berdiri di tempat, tiupan angin dingin menerpa genta. Tak sedikitpun genta menggigil kedinginan karena dia bersahabat dengan dingin sejak dia berkenalan dengan dinginnya hati 10 tahun lalu.

masih di tempat itu, setapak jalan selebar pematang sawah, genta masih berdiri begitu juga dengan sosok bersorot mata hangat dan teduh itu. mengingat waktu terus berjalan dan tak peduli dengan kendala yang dialami genta, genta memberanikan diri mendekati sosok itu, mungkin dengan begitu sosok itu bias memahami maksud genta. genta hanya ingin terus melanjutkan perjalanan, tak terpikir oleh genta sebelumnya dia akan menemui kendala ini. setiap langkah semakin mendekati genta pada sosok itu. sorotan matanya yang hangat dan teduh itu serasa menyelusup hingga ke rongga dada genta, berusaha menyelusup ke bilik hati genta. entah dorongan darimana seperti hal nya magnet, genta semakin mendekat pada sosok itu. pada jarak kurang dari satu langkah lagi tapat di hadapan sosok itu, genta menghentikan langkahnya, lalu kembali lagi genta mengucapkan kalimat yang tadi itu, “maaf, jangan halangi jalanku karena aku ingin segera sampai ke tempat tujuanku”. sosok itu tetap bergeming.

genta tak tahu lagi mesti berbuat bagaimana, dengan tekad bulat genta mundur beberapa langkah mengambil ancang-ancang untuk berlari saja, berlari lurus mengikuti garis jalan setapak itu walaupun sosok itu masih berdiri disitu.. dengan memejamkan mata genta berlari… dan .. hyungslep..ada rasa hangat nyaman merasuki tubuh genta, dan plong.. genta membuka kelopak matanya.. genta telah berada di belakang sosok itu.. sosok itu tetap bergeming, genta pun tak berani menengok ke belakang, genta hanya mencoba memahami perasaan hangat dan nyaman yang barusan tadi merasuk hingga ke mengisi rongga di hatinya. dengan menghela nafas, genta merasa segala tekanan di dada yang sebelumnya menyesakkan, kini tidak ada lagi, terasa plong dan tuntas. genta pun tersenyum lega. ingin rasanya genta balik badan dan bertanya banyak hal kepada sosok yang mampu membangkitkan senyum dalam diri genta, namun genta teringat oleh tujuan utamanya untuk segera sampai di bangunan menjulang tinggi itu.

genta pun melanjutkan ayunan langkahnya dengan berbekal kehangatan dan kenyamanan berkat sosok bersorot mata hangat dan teduh itu yang membuat semangat genta semakin mekar. kembali angin dingin tadi menghembaskan energinya dan mengantarkan secarik kertas yang perlahan jatuh di hadapan genta, dengan reflek genta segera menangkap secarik kertas itu, kertas itu sekarang ada di kepalan tangan genta, genta lalu melebarkan kertas yang sedikit lecek itu, ada tertulis, “dear genta: sampai nanti kita berjumpa lagi, pada waktunya. salam dariku yang sejenak merasuki rongga hatimu” “hah..genta terhenyak dan spontan menengadahkan wajah ke atas, dan berbisik, wahai Pencipta diakah yang akan menjadi bagian dari diriku? aaaahhhh...”

sepertinya rinai hari ini tak terlalu bersedih, nyatanya dia hanya sebentar saja menitikkan airnya. genta pun mempercepat langkahnya, ingin segera sampai di bangunan menjulang tinggi itu. sepanjang perjalanan itu genta tidak menemui siapa-siapa lagi, hanya pepohonan dan rerumputan yang menemani genta serta hembusan angin yang senantiasa memberi kesejukan. sambil mengayunkan langkahnya genta sembari menjentikkan jarinya, mengikuti ketukan degupan irama yang berdebar di jantung genta. suatu degupan yang memberi semangat dan sekaligus mengenyahkan lelah. beberapa saat genta menjentikkan jarinya..trek..snap..snap.klutuk..tukk..trek..trek snap..snap..trek. irama degup semakin cepat..genta pun sembari mempercepat ayunan langkahnya.. semakin cepat lagi irama degup memacu, langkah kaki genta pun berada dalam posisi berlari.. tambah dan makin cepat dan memacu dan cepat lagi.. genta berlari dan berlari mengiringi irama degupan jantungnya.. lari .. lari .. berlari.. lurus dan membelok, ke kanan lurus dan ke kanan lagi.. mengikuti setapak jalan dan pada suatu persimpangan genta terus berlari ke arah timur.. semakin berlari genta merasa semakin mendekati bangunan menjulang tinggi itu.. sampai pada suatu lahan lapang dan dihadapan genta hanya tebing tinggi, tak ada jalan lain. buntu.

genta berhenti sambil mengatur sengal nafasnya. yang terpikir oleh genta hanyalah ingin terus melangkah saja, maka genta pun mulai memanjat tebing itu.. tak sedikitpun genta kesulitan memanjat tebing itu, karena sejak dulu genta terbiasa memanjat pohon jambu di depan rumahnya. “hehehehe...” senyum genta melebar dan tambah semangat lagi memanjat tebing itu.. tak butuh waktu terlalu lama memanjat tebing itu karena genta merasakan tubuhnya ringan dan kuat. genta pun berhasil melampaui tebing itu.. genta berdiri, menegakkan dan menggoyang-goyangkan kedua kakinya melenturkan otot-otot. dan ... sejauh mata memandang genta melihat itu.. tampak suatu bangunan beratap tinggi, tampak kokoh tegak berdiri. tak mau membuang waktu lagi genta pun berlari kecil menuruni bukit dan langsung mengejar posisi bangunan beratap tinggi itu. tak butuh peluh mengalir di dahi genta, seraya bangunan menjulang itu pun tergerak..

hingga genta berhadap-hadapan dengan bangunan menjulang tinggi itu. genta sejenak terdiam, mendongakkan kepalanya. kemudian gerbang dihalaman bangunan menjulang itu yang sedari tadi tertutup kini perlahan terbuka seakan mempersilakan genta, tanpa pikir panjang genta pun masuk ke pekarangan bangunan menjulang tinggi itu, dan disebelah kanan genta ada sebuah tangga yang tingginya sekitar 78 meter. genta menarik nafas panjang dan menghembuskannya.. bersiap menaiki tangga itu.. langkah demi langkah genta menikmati gerakannya.. seraya terbayang semua hal yang pernah genta lalui dalam hidupnya.. kekecewaan, kepahitan, pun segala salah dan dosa yang pernah genta lakukan, genta mengakui segala kebodohan dan kelemahannya, namun entah dorongan darimana genta mendapat kekuatan untuk terus melangkah naik melewati setiap anak tangga itu. seketika hembusan angin menampar wajah genta, genta pun tersenyum merasakan kebahagiaan. sampai juga di puncak bangunan menjulang tinggi itu, genta melihat ke bawah, tergambar semua jejak langkah perjalanan genta.. aaahhhhhh.... belum pernah genta merasakan perasaan seperti ini sebelumnya.. surya pun perlahan menggelinding dan kembali rembulan menampakkan senyumnya seraya membalas senyuman genta. “cukup bagiku”, gumam genta.

*genta tinggal menggelantung diatap bangunan menjulang tinggi itu saja untuk kemudian bersuara lantang di hari peristirahatan, selama yang ia bisa*

ps. bergelantungan sambil nunggu pada waktunya itu :D

foto: menara di gereja st. maria de fatima, jakarta (januari 2012)

No comments: